Rabu, 08 September 2010

Menapaki Bromo

Hari itu tanggal 5 September 2010, berawal dari Terminal Landungsari, aku, uzy dan aqibah ingin berkunjung ke Gunung Bromo, tepatnya di Desa Wonokerto Kabupaten Probolinggo.
Dari terminal landungsari, kami bertiga menuju ke Terminal Arjosari dengan menggunakan angkot jalur AL. Sesampainya di Ierminal Arjosari (11.30 WIB), bergegaslah kami menuju bis jurusan Malang-Probolinggo. Dalam waktu tempuh ± 1.5 jam, kami bisa sampai ke Probolinggo (dalam waktu normal). Tidak membosankan seperti pikiran awal kami, ternyata banyak sekali pemandangan-pemandangan yang sangat menarik. Contohnya saja seperti bangunan-bangunan duplikat arca yang berbaris disepanjang jalan. Hamparan sawah yang luas pun tidak kalah menariknya, membentang dengan warna hijau mudanya. Hawa yang panas pun ikut mewarnai perjalanan kami. Ketika kami melintas di Kota Pasuruan, ternyata ada pabrik Pocari Sweat dan Nestle di sana. Jalan pun makin lama makin mengecil, menambah serunya perjalan yang membuat kita makin penasaran untuk sampai di Probolinggo. Jauhnya perjalanan menyebabkan aqibah (salah satu teman kami) harus tumbang karena tidak kuat menahan rasa mual yang tidak tertahankan, sampai-sampai puasanya pun batal.

Tidak terasa kami sudah sampai di Terminal Bayuangga Probolinggo. Ternyata si Isman (teman kami yang tinggal di Probolinggo) belum datang yang semula ingin menjemput kami. Sekitar ± ½ jam, akhirnya datang juga dia. Perjalanan pun belum berakhir, kita harus menempuh ± 12 KM untuk sampai di rumahnya Isman. Semakin lama jalanan semakin menanjak, hawanya pun berubah menjadi dingin. Tepat jam 14.30 WIB, kita sampai di rumahnya Isman. Kami segerakan shalat Dzuhur dan saat itu pula kami merasakan sentuhan pertama terhadap air yang ada disana, sungguh amat sangat dingin. Aku sempat berfikir bahwa mungkin orang-orang disini mendapat pahala yang lebih ketika beribadah shalat. Dinginnya itu setara dengan hawa dingin yang ada di luar negeri.
Singkat cerita, hari kedua disana dan masi dalan suasana yang sama (yang sama-sama dingin maksudnya), kami putuskan untuk pergi jalan-jalan disekitas pedesaan tersebut. Masyarakat yang biasa dikenal dengan suku Tengger ini, dengan ciri sarung yang melekat di tubuhnya pun memulai aktivitasnya sebagai petani sayur di daerahnya. Melihat para petani itu menggulati pekerjaannya masing-masing, hati kecil ini ingin sekali ikut berbaur disana dengan para-para petani tersebut. Kebetulan masyarakat yang berdomosili disini mayoritas beragama Hindu dan minoritas beragama Islam.

Hari ketiga disana kami belum merasa puas dengan apa yang kita lihat, kami terjun kembali ke ladang. Melihat para petani yang sedang memanen bawang prey, membuatku teringat dengan petani padi yang ada di Sebakung (salah satu desa yang ada di Kalimantan Timur). Ketika kami sudah merasa puas jalan-jalan, Isman mengajak kami untuk pergi melihat Gunung Bromo. Akan tetapi  Isman tidak bisa ikut dikarenakan dia ada kesibukan dan sebagai gantinya yang mengantar kami adalah sepupunya Isman. Dengan menggunakan 2 sepeda motor, menempuh waktu ± 5-10 menit kami pun sampai di sebuah bukit, dimana dari situ kita bisa melihat Bromo dari atas.
Perlu diketahui bahwa Bromo dikelilingi oleh Gunung-gunung lainnya seperti Gn.Pananjakan, Gn. Kidul, dan Gunung-gunung lainnya, kemudian dikelilingi lagi dengan lautan pasir dan terakhir dikelilingi lagi oleh bukit-bukit besar termasuk bukit tempat kami berpijak. Tetapi sayang, kami tidak bisa masuk, menyaksikan secara langsung kawah Gunung Bromo dikarenakan sekarang adalah musim kemarau. Pasi [pun menjadi gembur ketika musim kemarau dating sehingga sepeda motor kami tidak mampu menempuhnya.
Hari pun berganti, saatnya kami untuk bersiap-siap pulang ke Malang. Dan perjalanan pulang kami dan sesampainya kami di Kota Malang, menutup cerita yang saya buat untuk judul kali ini.

Tidak ada komentar: