Pendahuluan
Hampir di luar kesadaran kita bahwa keberadaan perguruan tinggi di Indonesia selama ini mengalami dualisme. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di satu sisi dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berada di sisi lain. Runyamnya, pertumbuhan kedua kubu tidak berjalan beriringan. Seolah-olah PTN yang berjalan duluan, sementara PTS “membonceng” di belakang. Anggapan seperti ini didukung oleh beberapa kenyataan, yaitu:
Pertama, sebagian besar PTS dirintis dan didirikan oleh para dosen yang bekerja tetapnya di PTN. Di samping alasan-alasan idialis, pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat pragmatis juga ikut mendorong berdirinya PTS-PTS tadi. Yang termasuk pragmatis di sini misalnya, untuk menyalurkan kelebihan waktu dan kesempatan yang dimiliki oleh para dosen negeri, yang itu berarti sekaligus memberi tambahan penghasilan bagi mereka.
Disamping itu, didirikannya PTS adalah untuk menampung calon-calon mahasiswa limpahan. Setelah mereka gagal menjadikan PTN sebagai alternatif pertamanya. Mengingat daya tampung itu diperkirakan rata-rata hanya 12% dari jumlah peminat masuk perguruan tinggi. Besarnya jumlah calon mahasiswa yang tidak tertampung di PTN ini mendorong cepat membesarnya jumlah PTS yang didirikan.
Kedua, Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dijadikan dasar untuk mengembangkan sisitem pendidikan tinggi di Indonesia besar andilnya dalam mempertajam dualisme PTN-PTS. Aturan dan kebijakan itu juga terlalu berpihak, dimana realitas PTN lah yang nyaris satu-satunya dijadikan rujukan. Baik itu realitas infrastruktur maupun subtansi perguruan tinggi Indonesia akan berkembang.
Aturan dan kebijakan yang ”PTN oriented” ini memaksa PTS-PTS dalam mengembangkan infrastruktur dan subtansinya harus mengekor pada PTN. Dan jadilah PTS-PTS itu tidak lebih dari sekedar duplikat dari PTN. Kendati ada perancangan agar antara PTN dan PTS itu menjadi mitra, tapi PTN toh tetap seolah-olah sebagai “saudara tua” yang mesti ditiru gerak-geriknya oleh “saudara mudanya” yaitu PTS-PTS disekitarnya.
Berikut ini akan dicoba melacak perkembangan PTS, baik yang telah maupun yang sedang terjadi. Secara sekilas menelusuri lekuk liku historis sosiologis dan politis di sekitar keberadaan PTS. Ini sekedar umpan awal untuk kita bisa memahami sosok masalah yang melilit PTS, serta upaya menemukan cara pencegahannya.
Tiga Babak Sejarah
Untuk memahami perkembangan serta permasalahan PTS, kita harus melihat keberadaan dan kondisi pendidikan tinggi dan tiga babak sejarah. Yaitu pada masa pasca penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, serta beberapa tahap waktu Indonesia merdeka.
Dalam soal ini Dr. Ir. Hardjo Soedirjo, Rektor Universitas Tri Sakti, pernah melontarkan serangkaian pernyataan. Sebagai ia kemukakan dalam seminar “Prospek Pola Tunggal PTN-PTS” di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 15-16 September 1988.
Pernyataannya antara lain, berapa jumlah lembaga pendidikan tinggi yang ada di Indonesia pada masa pasca penjajahan Belanda? Jenis bidang studi apa yang ada? siapa penyelenggaranya, swasta atau pemerintah kolonial? Untuk kepentingan siapa? Seberapa banyak jumlah pemuda pemudi indonesia yang beroleh kesempatan? Bagaimana keadaan pendidikan tinggi itu pada masa tiga setengah tahun di bawah pendudukan bala tentara Jepang? Bagaimana kemudian setelah Indonesia merdeka tahun 1945 sampai 1961?
Dengan menyimak dan mencari jawab pertanyaan Hardjo Soedirdjo itu, kita bukan hanya menemukan catatan-catatan sejarah, tetapi sekaligus juga bisa memahami betapa keterpaduan PTS dengan permasalahan sosial politik yang di hadapi oleh bangsa Idonesia kala itu. Ini penting agar kita,sebagaimana kata Bung Karno, ”jasmerah” : Jangan sampai melupakan sejarah.
Dari sisi kesejarahan ini kita tidak akan melupakan bahwa boleh dikatakan PTS adalah “cikal-bakal” dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada adalah bermula berstatus swasta. Lantas pemerintah melaksanakan alih kelola, dan oleh karena itu diberi status negeri. Bahkan, dalam saat alih kelola ini sering pihak-pihak perintis harus melepaskan hak-haknya lantaran tidak memenuhi standar kelayakan sebagai “pegawai negeri”.
Sedang dari sisi politik, kehadiran PTS kala itu tidak sedikit kontribusinya terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan, baik dalam memperkuat warisan perjuangan fisik maupun lewat diplomasi. Satu misal adalah Universitas Islam Indonesia yang menjadi cikal bakal berdirinya UGM dan IAIN Sunan Kalijogo. Dari kampus ini para mahasiswa ikut berlaga dalam perang gerilya maupaun membantu dalam pelaksanaan misi diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan. Bahkan beberapa diantara mahasiswa itu akhirnya memilih karier militer dalam hidupnya.
Kehadiran PTS pada dasawarsa tujuh puluhan dan delapan puluhan ini juga tidak sepi dari suatu panggilan suci. Sudah barang tentu dalam panggilan yang lain, sesuai dengan masa pembangunan ini.
Terlepas dari kelemahan dan ketimpangan yang diendap, bagaimanapun PTS telah menjembatani kesenjangan dalam upaya pemeraan dalam pembangunan bidang pendidikan. Karena dengan melonjaknya aspirasi pendididkan tinggi dari masyarakat, khususnya para lulusan SLTA, bagaimana lembaga pendidikan tinggi negeri tak bakal bisa menampungnya, sekalipun pemerintah telah membuat terobosan dengan dibuatnya Universitas Terbuka (UT). Sebab, tampaknya adalah menjadi pekerjaan sendiri dan cukup berat bagi UT untuk membangun citra dimasyarakat bahwa dirinya sama dan sebangun dengan perguruan-perguruan tinggi yang konvensional.
Memang, kehadiran PTS agaknya tidak ikut memberikan jawaban akhir terhadap beban psiko-politis itu. Sebagaimana ada pendapat bahwa pemberian kesempatan melanjutkan kependidikan tinggi sering sama dengan menunda sementara beban psikopolitis itu.Sebab setelah itu dihadapannya menunggu masalah yang cukup pelik juga, bagaimana membuka lahan kerja baru yang layak bagi para lulusan pendidikan tinggi
Transformasi Sosial.
Perkembangan PTS yang akhir-akhir ini cenderung semakin membengkak dan menjamur, hendaknya juga bisa dipahami.
Kita harus meletakkannya dalam keterpaduan (konteks) kemasyarakatan yang luas. Sebagaimana kalau kita kutip pernyataan Emile Durkheim : bahwa pendidikan (termasuk pendidikan tinggi), perubahan dan perkembangan adalah merupakan penjelmaan (transformasi) dari fenomena sosial yang sedang berlaku.
Durkheim memberikan contoh bahwa penjelmaan dan pencapaian tujuan pendidikan yang terjadi pada akhir abad ke-16, harus dijelaskan pemahamannya lewat gerakannya sosial waktu itu. Gerakan mana yang oleh kalangan sejarahwan disebut gerakan renaisance, yaitu gerakan sosial yang berakibat kembali kepada semangat klasik, sebagai reaksi atas kemerdekaan dan kekurangan cita-cita abad pertengahan.
Berdasarkan kerangka pandangan di atas kita dapat memahami apa yang dikemukakan oleh waskito Tjiptosasmito (Prisma No.2, Th.1976. 3-9), yang menempatkan sistem sekolah sebagai mekanisme alokasi dan distribusi posisional. Yang sepertinya sistem sekolah mendapat mandat dari masyarakat untuk menyalurkan anggota-anggotanya kedalam posisi tertentu.
Orientasi ini telah mendorong warga masyarakat untuk mencapai suatu taraf pendidikan yang setinggi-tingginya. Dengan anggapan bahwa dengan pendidikan tinggi itu mereka mempunyai peluang lebih besar untuk mendaki dan sampai di puncak piramida sosial ekonomi, atau yang dalam teori struktural-fungsional disebut sebagai the ruling elite. Runyamnya, anggapan mereka seperti itu juga mendapat pengesahan dari pihak pembuat kebijakan. Ini tampak dalam mekanisme perekrutan dan promosi pegawai yang kini diperlukan. Dimana hal itu masih berorientasi kepada ijasah atau tingkat pendidikan formal yang dimiliki, ketimbang kecakapan nyata dan prestasi.
Selain itu, di Indonesia --dan juga di negara-negara sedang berkembang yang lain-- pendidikan masih dijadikan simbol status sosial. Sudah barang tentu pendidikan tinggi adalah simbol status yang amat mentereng. Maka jangan heran jika masyarakat untuk meraihnya itu tak segan-segan membayarnya dengan mahal, tanpa harus memperhitungkan makna hakikinya. Tak mengherankan juga jika pada berikutnya oleh pihak-pihak tertentu, dengan sadar pendidikan tinggi dimasukkan ke dalam kawasan bisnis dan menjadi barang komoditi yang cukup potensial.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan tinggi telah bisa dimanfaatkan oleh sementara masyarakat untuk melakukan mobilisasi sosial. Terutama oleh generasi muda lapisan bawah untuk melakukan “lompatan” ke status sosial yang lebih tinggi, dalam upaya memperbaiki status sosial keluarga yang telah dicapai oleh orang tuanya.
Namun sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Bowles, pendidikan tinggi ternyata lebih membantu mencagari struktur dan status sosial lapisan atas, ketimbang membantu menumbuhkan mobilitas sosial ataupun untuk membuat “cagar” sosial, yang jelas hal ini telah mengakibatkan ketidakjelasan orientasi perguruan tinggi. Ia terpukau dan terpancing oleh kesibukan menjawab kebutuhan yang dirasakan masyarakat (felt need) dan bukan berusaha memenuhi kebutuhan nyata (real need) pembangunan.
Ketidakjelasan orientasi pendidikan tinggi sejak dulu sampai kini tercermin dalam sosok perguruan tinggi kita yang sebetulnya sudah sadar akan masa depan namun belum mampu menerjemahkan kesadaran itu dalam bentuk perumusan antisipasi masa depan yang cermat. Akibatnya, disiplin ilmu dan bidang studi yang dikembangkan kurang bisa menjawab persoalan pembangunan masa yang akan datang. Rasanya persoalan muatan pendidikan perguruan tinggi sekarang ini tidak hanya pada soal perdebatan pilihan eksakta versus non-eksakta, kejuruan versus non-kejuruan tapi juga sudah merambah pada soal pilihan ilmu keras (hard science) dengan ilmu lunak (soft science).
Dalam soal ini, kesalahan tidak bisa ditimpahkan pada pihak pemrakarsa pendidikan tinggi swasta saja. Sebab, dalam tradisi yang belaku selama ini PTS hanyalah pihak ‘Makmum’. Sedangkan PTN yang selama ini bertindak sebagai ‘imam’ pun, masih belum mengembangkan sikap antisipasi terhadap kebutuhan pembangunan masa depan yang diharapkan.
Rangka Pandangan Politis
Agaknya, perkembangan PTS akhir-akhir inipun tidak luput dari masalah kepentingan politik. Artinya, berdirinya PTS tidak semata-mata menyangkut ikhwal kebutuhan masyarakat akan berpendidikan tinggi, tetapi juga wahana untuk menyalurkan kebutuhan berperilaku politik (need of political behaviour). Hal ini dapat terbaca dalam yayasan, ataupun orang-orang yang berdiri di belakang PTS itu.
Bahkan, beberapa PTS secara tidak langsung menjadi perpanjangan tangan kekuatan politik tertentu. Juga ada yang menjadikan tempat ‘mangkal’ tokoh-tokoh politik. Tampaknya dalam hal ini PTS dipandang sangat strategis untuk dijadikan “pos pengamat” perkembangan politik sekaligus untuk tempat persemaian kader.
Kecenderungan seperti ini telah memberi konotasi lain bagi keberadaan PTS, bahwa ia pun sekedar tempat
“pelarian” sementara orang, atau juga bukan sekedar untuk mencari keuntungan material seperti anggapan umum selama ini. Tetapi disana, PTS menjalankan alternatif. Ini bukan soal pelarian dan pencarian keuntungan-keuntungan material, akan tetapi idealismelah yang telah bicara.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Barangkali iklim politik yang berkembang dewasa ini memberikan ruang gerak yang agak leluasa bagi pengembangan wawasan politik masa depan serta kurang kondusif bagi persemaian kader. Padahal dalam suasana yang serba “monolitik”, terasa semakin dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran dan terobosan-terobosan politik yang kreatif.
Melihat persoalan tersebut, sementara pihak melihat lembaga pendidikan tinggi masih dianggap punya dan mampu memberi ruang gerak. Maka tak pelak lagi jika perguruan tinggi, khususnya PTS, menjadi alternatif pilihannya, meski untuk itu harus mengeluarkan biaya yang tinggi dan penuh resiko. Sebagai contoh adalah kasus “Universitas Bung Karno” yang sudah beroperasi terpaksa harus berhenti di awal perjalanan, konon ada ganjalan politis. Barang kali ia adalah sebuah contoh dari betapa mahalnya sebuah idealisme dalam mendirikan sebuah perguruan tinggi.
Masalah Hubungan PTS-PTN
Berangkat dari penelusuran aspek historis, sosiologis, serta politik di atas, ada hal yang patut diperhatikan. Yaitu bahwa harga kehadiran sebuah PTS dan perkembangannya tidaklah cukup ditafsirkan sebagai, untuk kepentingan pendidikan dalam arti sempit. Apalagi hanya terpaku pada aspek kualitas serta relevansinya melulu. Maka apa yang muncul dan menjadi bahan sorotan sekarang ini masalahnya tidak sederhana. Melainkan saling mengait dengan masalah nasional yang kini tengah kita hadapi bersama.
Demikian halnya, masalah hubungan PTN-PTS, dari yang bersifat “kemitraan” sampai beranjak menuju sistem “pola tunggal”. Terasa kurang pas jika hanya dilihat dari segi teknis semata, umpamanya dari soal “tebeng-menebeng”. Jika ini persoalannya maka “seperti menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri”. Bukankah pemerintah telah mencanangkan suatu sistem pendidikan tinggi nasional, dimana “pendidikan tinggi di Indonesia merupakan suatu kesatuan bulat, suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem yaitu PTN dan PTS?”.
Konsep yang dicanangkan pemerintah lewat Depdikbud lewat Kebijakan Dasar Pengembangan Tinggi (DPPT) tahun 1975 berikut langkah-langkah pembinaannya, menurut hemat kita cukup kontruktif. Langkah strategis pembinaan tersebut meliputi lima rasa, yaitu pembinaan sikap dan kesadaran, fisik dan fasilitas, akademik, pengakuan dan penghargaan masyarakat, serta aktualisasi diri (Soekismo Hadikoemoro,1980).
Begitu pula pemberian bantuan pemerintah selama ini terhadap upaya meningkatkan mutu PTS. Langkah-langkah tersebut paling tidak telah memeberikan konteribusi bagi upaya mencegah kecenderungan negatif dan efek samping yang lain. Asalkan pelaksanaannya diikuti secara ajek, disiplin, dan penuh rasa tanggungjawab.
Upaya untuk menerbitkan PTS secara sepihak agaknya suatu langkah yang kurang bijaksana. Apalagi jika kita masih merujuki UU Perguruan Tinggi No. 22 Tahun 1961, misalnya yang hanya membolehkan berdirinya PTS di Ibukota propinsi, terasa sudah tidak relevan. Perkembangan Indonesia setelah hampir 37 tahun sejak UU itu sudah sedemikian berubah baik fisik maupun non-fisik kompleksitas masalahnya.
Alangkah bijaksana kita, jika kita bisa “mencabut duri di badan tanpa membuat luka yang dalam”. Kita sepakat untuk mencegah keresahan dan memakan korban yang baru, yaitu hilangnya apa yang sudah kita miliki. Bagaimanapun kecilnya apa yang kita miliki telah memberi arti. Walaupun kadang terasa bikin gemes dan merepotkan.
****************************************************
Daftar Pustaka
UMM Press
****************************************************
Daftar Pustaka
UMM Press

Tidak ada komentar:
Posting Komentar